Breaking News
Loading...
Jumat, 28 Maret 2014

Mempersandingkan Gerakan Pelajar Berkemajuan dengan Gerakan Intelektual Postmodern

06.28


~Azaki Khoirudin~

Artikel ini akan memcoba mempersandingkan “Gerakan Pelajar Berkemajuan” (GPB) dengan “Gerakan Intelektual Postmodern” (GIP). Kira-kira, apakah ada kesamaan dan keterkaitan antara Pelajar Berkemajuan dan Intelektual Postmodern. Dimana, kemunculan GPB ini adalah respon IPM menghadapi arus globalisasi, teknologi, informasi, yang begitu cepat. Karenanya, mengakibatkan permasalahan kehidupan bengitu cepat dan amat kompleks, serba bias dan tidak menentu. Maka, tidak salah jika GPB saya sandingkan dengan GIP, yang juga merupakas gerakan respon terhadap perubahan yang begitu cepat dan serba melampaui batas-batas tertentu.
Dalam kaitan GIP saya akan memulai dari sekilas beragam dari istilah “postmodern”, postmodernitas”, atau “postmodernisasi”. Perfik (kata awalan) “post”, menurut Jan Pakulski menindikasikan “transendensi historis” (melewati ambang batas tertentu, atau mengungguli dan melampaui modernitas), dan sifat tentatif formulasi-formulasi teoritik, ketidakpastian dalam hal arah perubahan yang melampaui fakta, bahwa tidak ada lagi hidup dalam masyarakat modern.
Awalan “post” menyiratkan suatu diskontinuitas sosiohistoris, suatu pengalihan arah perubahan, suatu akhir dari periode modern tersendiri dengan bentuk-bentuk sosial dan pandangan-pandangan kultural-nya yang spesifik. Selanjutnya, munculnya GIP menurut Perry Anderson, berasal dari ranah sejarah, filsafat, dan estetika yang masuk ke ranah sosiologi. Bahkan, beragam kebiasaan “postmodern” yang dipelopori dengan berbagai nama, “dekonstruksi, post-strukturalisme, dan lain-lain di kalangan cendekiawan Perancis.
Ciri Khas Postmodern
Salah satu ciri khusus gerakan postmodern adalah suatu kombinasi antara radikalisme epistemologi warisan pencerahan dengan liberalisme substantif. Gerakan Postmodern merupakan respon intelektual terhadap perubahan sosial yang semakin cepat, sehingga memastikan perubahan radikal terhadap sejumlah asumsi-asumsi metateoritik kunci (termasuk ranah sosial dan pilar-pilar ideologis, contohnya kepercayaan terhadap kemajuan sosial, emansipasi, dan efektivitas organisasi formal.
Para penganjur postmodern, bersikap kritis terhadap ketidakteraturan tatanan sosial, merangkul berbagai perbedaan dan keragaman, mengakui keterbatasan terbatasnya kapasitas manusia untuk memprediksi (tetapi mengakui adanya kemungkinan untuk melakukan antisipasi-antisipasi akurat) dan mendorong dilakukannya refleksi kritis yang melibatkan perasaan, kegelisahan, dan pertimbangan umum. Mereka juga skeptis terhadap “kemungkinan “rekayasa sosial”.

Ciri-ciri Modernitas
Ciri-ciri Postmodernitas
Determinisme (hukum alam) Ketidakpastian, kesempatan, dan kemungkinan
Universalisme, kesamaan ruang/waktu Partikularisme dan lokalisme
Kepercayaan diri, transparasi, perasaan akan adanya realitas Perasaan akan adanya ketidakteraturan, semua serba sementara, dan tidak pasti
Monisme dan universalisme institusional Pluralisme dan keberagaman institusional
Perasaan akan adanya hambatan, keterbatasan, atau pembatasan Kebebasan memilih, dan penyesuaian gaya atau mode

Dengan cara ala Weber, GIP menekankan pentingnya aktor-aktor, berbagai ketidakpastian yang begitu kompleks dan regularitas probabilistik. Suasana jiwa dari GIP adalah menolak kepalsuan-kepalsuan, mendekonstruksi, mempertanyakan, memperjelas pemahaman, dan memkritisi.
Teori Sosial Postmodern
Salah satu cara untuk mengenali teori sosial postmodern (TSP) ialah dengan mengidentifikasi sejumlah perubahan kritis dalam hal “fokus perhatian”. Paling tidak, ada lima pergeseran substantif dalam perhatian fokus postmodern:
  1. Dari Struktural ke Kultural. TSP lebih banyak perhatian diberikan kepada kebudayaan, khususnya budaya pop, lengkap dengan segala perubahan yang tidak dapat diperdiksi dan basis-basis nilainya tidak pasti. Perhatian ini, biasanya dikombinasikan dengan ketertarikan yang besar terhadap komsumsi (khusunya simbolik masa) dan reformasi identitas.
  2. 2.        Dari Produksi Massal ke Konsumsi dan Gaya Hidup Massal, Komunikasi, dan Media Massa. Fokus pada komunikasi masa, khususnya mengenai simbol-simbol/ informasi, fokus pada komunikasi mass-media dan pada budaya pop (versus budaya elite).
  3. 3.        Dari Interaksi ke Wacana. Suatu pergeseran linguistik/ simbolik yang tercermin dalam lebih banyaknya perhatian yang dicurahkan kepada representasi-representasi, khususnya dalam media dan wacana-wacana populer.
  4. 4.        Dari Institusi-Institusi ke Antor-Aktor dan Jaringan-jaringan. Fokus pada pembentukan jaringan sosial yang fleksibel berdasarkan pada konsensus yang sifatnya temporer dan bukannya berdasarkan norma-norma/ aturan-aturan dan pada peran aktor-aktor/ agen-agen perubahan yang berpengaruh. Hal ini sering dipadukan dengan ketertarikan yang besar terhadap perubahan identifikasi-identifikasi dan propagasi citra-citra  “model”, khususnya di ranah-ranah budaya populer dan politik.
  5. 5.        Dari yang Tipikal ke yang Beragam dan Marginal. Meningkatnya ketertarikan orang terhadap bentuk susunan sosial-kultural non-tipikal (yang kerap kali bersifat spesifik dan termarginalkan), seperti minoritas-minoritas jenis kelamin, etnis, religius, gaya hidup, dan budaya.
Kondisi Masyarakat Modern
Kondisi Masyarakat Postmodern
Fokus pada produksi dan peran-peran produksi Fakus pada konsumsi
Produksi dan organisasi industrial Produksi dan organisasi postproduksi
Institusi-institusi yang memilik akar yang jelas Institusi-intitusi yang mengambang
Struktur-struktur kelas dan persekutuan Hirarki-hirarki yang kompleks dan gaya hidup niche
Gaya hidup, pekerjaan yang atabil, dan karier yang berjenjang Pekerjaan episodik dan perpindahan-perpindahan lateral atau bersifat sampingan
Identitas-identitas inti yang stabil (kelas, etnis, dll) Identitas-identitas yang bersifat situasional, beragam, dan cair.
Kebudayaan-kebudayaan yang hirarkis Mozaik sub-kultural dan multikultural yang beragam
Pengotak-ngotakan dan politik nasional terorganisir Politik global yang berorientasu isu dan pemimpin
Pengambilan kebijakan dan fokus nasional Fokus lokal global, kebijakan-kebijakan oportunistik

Gerakan Intelektual Postmodern
Tak diragukan lagi, gerakan intelektual postmodern adalah suatu respon terhadap perubahan sosial yang begitu cepat. Khususnya aspek-aspek perubahan yang mempengaruhi “kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat Barat yang paling maju. Masyarakat maju ini dicirikan dengan pengalaman-pengalaman sehari-hari, perhatian-perhatian, dan perasaan-perasaan yang bersifat umum, orientasi-orientasi dan konsumsi-konsumsi massa, gaya hidup, serta budaya pop, membuat kita berhubungan dengan orang lain. Selama beberapa dasawarsa terakhir abad kedua puluh tampaknya perubahan terjadi dengan sangat cepat dan luas. Sebagian, dikarenakan pengaruh kuat dari media elektronik baru dan cepatnya penyebarluasan budaya pop yang sudah dikomodifikasi, yang lingkupnya semakin mengglobal. (Jan Pakulski, 440)
Selanjutnya, situasi demikian meminjam kata yang digunakan oleh Kuhn, “anomali-anomali” dalam bentuk perkembangan-perkembangan sosial yang semakin tak diharapkan, tak menentu, penuh teka-teki dan kacau-balau. Kumpulan anomali inilah yang berakibat pada dibutuhkannya penyesuaian-penyesuaian khusus yang memicu munculnya “Gerakan Intelektual Postmodern”. (h.441). Gerakan postmodern telah memberikan idiom yang benar-benar baru bagi kritik sosial yang sebelumnya dimonopoli oleh Marxisme. Akan tetapi, gerakan postmodern juga mendapatkan pesaing yang menakutkan, yaitu “globalisasi” yang semakin berkembang.
Gerakan Pelajar Berkemajuan
Pemikiran tentang “Gerakan Pelajar Berkemajuan” sebenarnya ialah berasal dari istilah “Islam yang Berkemajoean” yang digunakan oleh Muhammadiyah di awal abad ke 20 (1912). Istilah ini kembali menjadi tabu, oleh karena itu kembali direaktualisasi oleh Muhammadiyah saat usianya memasuki abad kedua. “Islam Berkemajoean” oleh Amin Abdullah pada awal abad ke 20, saat ini disandingkan dengan istilah “Islam Progressive” (Islam yang Maju atau Islam Berkemajuan) yang digunakan oleh para ahli studi keislaman pada akhir abad ke 20, dan lebih-lebih lagi pada abad ke-21.
Kenapa harus Islam berkemajuan? Karena, tidak ada yang dapat menyangkal jika bahwa dalam150 sampai 200 tahun terakhir, sejarah umat manusia mengalamiperubahan yang luar biasa. Perubahan yang dahsyat dalam perkembanganilmu pengetahuan, tatanan sosial-politik dan sosial-ekonomi,demografi, hukum, tata kota, lingkungan hidup dan begituseterusnya. Perubahan dahsyat tersebut, menurut Abdullah Saeed, antara lain terkait dengan globalisasi, migrasi penduduk,kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa,penemuan-penemuan arkeologis, evolusi dan genetika,pendidikan umum dan tingkat literasi.
Dahulu, dalam khazanah pemikiran keagamaan Islam, khususnya dalam pendekatan Usul al Fiqih, dikenal istilah al-T sawabit  (hal-hal yang diyakini atau dianggap “tetap”, tidak berubah) wa al-Mutaghayyirat (hal-hal yang diyakini atau dianggap “berubah-ubah”, tidak tetap). Tetapi kini, muncul pertanyaan yang sulit dijawab bagaimana kedua atau ketiga alat logika berpikir dalam berbagai disiplin keilmuan tersebut, berikut sistem epistemologi yang menyertainya dioperasionalisasikan di lapangan ketika umat Islam menghadapi perubahan sosial di era globalisasi yang begitu dahsyat. Apa yang masih harus dianggap dan diyakini sebagai yang “tetap” dan apa yang tidak bisa tidak harus “berubah”?
Tidak salah ketika Amin Abdullah menawarkan memahami Islam Berkemajuan adalah Islam yang berada ditengah-tengah arus putaran Globalisasi dalam Praxis, globalisasi dan perubahan sosial dalam praktik hidup sehari-hari, dan bukannya globalisasi dalam Theory, globalisasi yang masih dalam tarap teori, belum masuk dalam wilayah praktik. Yaitu dunia global seperti yang benar-benar dialami dan dirasakan sendiri oleh para pelakunya di lapangan, yang sehari-hari memang tinggal dan hidup di negara-negara sumber dari globalisasi itu sendiri, baik dari segi transportasi, komunikasi, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan begitu seterusnya. Bukan globalisasi yang diteoritisasikan dan dibayangkan oleh para intelektual Muslim yang tinggal dan hidup di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, dan tidak atau belum merasakan bagaimana tinggal dan hidup sehari-hari di negara-negara non-Muslim, pencetus dan penggerak roda globalisasi.
Lewat lensa pandang seperti itu, ada hal lain yang hendak ditegaskan pula di sini bahwa manusia Muslim yang hidup saat sekarang ini di mana pun mereka berada adalah warga dunia (global citizenship), untuk tidak mengatakan hanya terbatas sebagai warga lokal (local citizenship). Sudah barang tentu, dalam perjumpaaan antara  local  dan  global citizenship  ini ada pergumulan dan pergulatan identitas yang tidak mudah, ada dinamika dan dialektika antara keduanya, antara being a true Muslim dan being a member of global citizenship sekaligus, yang berujung pada pencarian sintesis baru yang dapat memayungi dan menjadi jangkar spiritual bagi mereka yang hidup dalam dunia baru dan dalam arus pusaran perubahan sosial yang global sifatnya.
Kemungkinan Postmodern = Berkemajuan
Perlu penjelasan lebih lanjut, tentang istilah postmodernis yang mendapatkan prafiks (kata awalan) “post” mengindikasikan transendensi historis (melewati suatu ambang batas tertentu, mengungguli modernitas). Transendensi dalam bahasa Kuntowijoyo ialah tu’minuunabillah (beriman kepada Allah). Keimanan dimaknai sebagai transendensi dimaksudkan ialah iman yang melampuai sekat-sekat batas ruang dan waktu. Sedangkan Islam berkemajuan ialah Islam yang selalu sesuai dengan konteks perubahan-perubahan zaman, bahkan melampaui zaman.
Sumber : http://www.ipm.or.id
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer